Kios BUMDes Desa Dungun Disewakan Hingga Rp32 Juta, Inspektorat Turun Tangan




Probolinggo, Merdekanews.id
Sebanyak 37 kios milik Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Desa Dungun, Kecamatan Tongas, Kabupaten Probolinggo yang berada di kawasan Rest Area Dungun menjadi sorotan publik. Hal ini menyusul temuan awak media terkait praktik penyewaan kios dengan nominal tinggi dan bervariasi, yang diduga tidak dikelola secara transparan dan berpotensi merugikan keuangan desa.

Dari hasil penelusuran, diketahui bahwa harga sewa kios di lokasi tersebut mencapai puluhan juta rupiah. Salah satu kios, yakni Kios Nomor 10, diketahui disewakan dengan harga tertinggi sebesar Rp32 juta. Sementara kios lainnya disewakan dengan nominal berbeda-beda, mulai dari Rp25 juta, Rp27 juta, Rp30 juta, dan bahkan ada yang menyebutkan hanya Rp1 juta, tanpa adanya keseragaman yang jelas dalam sistem pengelolaannya.

Salah satu warga penyewa kios, yang tidak bersedia disebutkan namanya, mengungkapkan bahwa transaksi sewa dilakukan langsung dengan mantan Kepala Desa berinisial MJB, yang menjabat pada tahun 2018 lalu.

“Waktu saya menyerahkan uang Rp25 juta ke pak Kades MJB, beliau bilang kios ini tidak boleh dijual-belikan ke orang lain. Cukup buat untuk ke anak atau cucu. Tapi memang harga tiap kios berbeda-beda. Ada yang Rp27 juta, ada Rp30 juta, ada yang cuma Rp1 juta, dan yang paling mahal itu Rp32 juta,” ujar sumber tersebut.

Keberagaman tarif ini menimbulkan pertanyaan publik mengenai mekanisme penetapan harga sewa, serta kemana aliran dana hasil sewa tersebut disalurkan.

Merespons munculnya polemik ini, Inspektorat Kabupaten Probolinggo telah menurunkan tim pemeriksa untuk melakukan verifikasi dan audit terhadap pengelolaan BUMDes Desa Dungun. Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 15, 16, dan 17 Juli 2025, selama tiga hari berturut-turut.

Tim inspektorat melakukan verifikasi dokumen administrasi, laporan pertanggungjawaban, realisasi anggaran, dan kegiatan usaha BUMDes selama tiga tahun anggaran terakhir. Pemeriksaan ini dilaksanakan di kantor desa dengan melibatkan perangkat desa dan pengurus BUMDes.

Langkah ini dilakukan menyusul dugaan kuat bahwa pengelolaan keuangan BUMDes tidak dilakukan secara akuntabel, dan berisiko menimbulkan kerugian pada kas desa.

Masyarakat mendesak agar hasil pemeriksaan inspektorat dapat segera disampaikan secara terbuka, dan jika ditemukan pelanggaran atau penyimpangan, agar dilakukan penegakan hukum secara tegas.

“Kami berharap dana sewa yang masuk benar-benar digunakan untuk kepentingan masyarakat. Kalau tidak jelas penggunaannya, ya harus ada pertanggungjawaban,” ujar seorang warga Dungun yang turut mengamati polemik ini.

BUMDes dibentuk sebagai badan usaha yang seharusnya dikelola secara profesional, terbuka, dan akuntabel untuk meningkatkan pendapatan desa dan kesejahteraan masyarakat. Namun jika dijadikan lahan kepentingan pribadi atau kelompok, maka keberadaan BUMDes justru berisiko menimbulkan konflik dan menghambat pembangunan desa.

Kasus di Desa Dungun menjadi cermin penting bagi desa-desa lain untuk lebih serius dalam pengelolaan aset desa, termasuk dalam hal transparansi penyewaan, pelaporan keuangan, dan keterlibatan masyarakat.

Publik kini menanti hasil audit Inspektorat dan langkah lanjut Pemerintah Kabupaten Probolinggo dalam mengusut kasus ini hingga tuntas.(tim)

Post a Comment

0 Comments