Misteri Kejanggalan Penyimpanan Keuangan Bumdes Aneka Usaha Desa Jatigedong Kecamatan Ploso-Jombang


Jombang, Merdekanews.id - Dugaan penyimpangan keuangan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Aneka Usaha Jatigedong, Kecamatan Ploso, Kabupaten Jombang, pada tahun 2020 silam, masih menjadi perbincangan hangat masyarakat setempat hingga saat ini.

Cucuk, ketua LPHM Pandawa menyakini bahwa diduga adanya penyimpangan laporan keuangan Bumdes Aneka Usaha Desa Jatigedong, paparnya saat awak media mendatangi di kantor LPHM Pandawa, Senin (30/1/2023) untuk menanyakan perihal beberapa pemberitaan terkait Bumdes Aneka Usaha Desa Jatigedong. 

"Contoh paling mencolok yakni laporan pengeluaran uang yang dipinjam Pemdes Jatigedong dengan nilai mencapai ratusan juta, ujar Cucuk Wahyu Riyanto, ketua LPHM Pandawa. 

Kasus ini pernah dilaporkan dan tengah ditangani Polres Jombang, namun sejak 2020 sampai sekarang sepertinya lenyap, sehingga masyarakat sampai saat ini tak henti-hentinya menguak misteri kejanggalan-kejanggalan yang terjadi di Bumdes Jatigedong tersebut. 

Sebagaimana informasi yang diterima Ketua LSM LPHM Pandawa Jombang, Cucuk Wahyu Riyanto,  banyak warga yang menceritakan bahwa awal mula adanya dugaan penyimpangan keuangan Bumdes Aneka Usaha Desa Jatigedong ini saat digelarnya Musyawarah Desa (Musdes) pada 31 Maret 2021 lalu di Balai Desa Jatigedong. 

Saat itu, jajaran pengurus Bumdes melaporkan pertanggungjawaban pengeluaran keuangan tahun 2020 sebesar Rp 588 juta.  

Kemudian, kata Cucuk melanjutkan, dana pajak Bumdes Rp 90 juta yang diduga tidak disetorkan. Lalu dana masker Rp 40 juta. Ada juga uang CCTV serta dana pembuatan taman sebesar Rp 10 juta. 

Menurut Cucuk, seluruh angka tersebut dilaporkan sudah dikembalikan ke Bumdes. Namun, kenyataanya dana tersebut justru masih masuk dalam laporan pengeluaran.

Kejanggalan yang lain, yaitu pajak PPH sebesar 10 persen senilai Rp 90 juta. Diduga nilai itu tidak dibayarkan dan temuan saya ada vendor yang transfer uang pembayaran scrap bukan ke rekening Bumdes, akan tetapi masuk ke rekening pribadi pengurus Bumdes, ungkapnya.

Di waktu yang berbeda, Hendro (salah satu anggota BPD) melalui WhatsApp Group menjelaskan bahwa ada oknum yang tidak berkenan persoalan tersebut diungkap secara transaparan.

Ada yang bilang bahwa Bumdes Jatigedong tidak bermanfaat bagi warga. Saya kasih contoh sedikit saja, kami tiap tahun naik terus nominalnya. Sembako sampai 1.700 KK per paket dengan nilai nominal per KK Rp 200ribu, ujarnya. 

Pembangunan di Jatigedong, lanjut Hendro, juga lumayan banyak. Belum lagi tunjangan hari raya.

Lihat balai desa saat ini kelihatan semegah itu. Saya yakin Muspika Ploso khususnya pak Camat Ploso tidak menghendaki berita ini terus-menerus, sehingga bisa menjadikan desa Jatigedong tidak lagi kondusif. Saat kita rapat di Kecamatan Ploso, masalah scrab bukan masalah Bumdes, kenapa harus melebar ke masalah bumdes, ujarnya.

Narasumber lain (sebut saja Mr. X) menjelaskan apa yang diceritakan Hendro menjadikan banyak orang bertanya-tanya. Dikatakannya, scrab dan Bumdes tidak bisa dipisahkan.

Ini juga menjadi tanda tanya, pendapatan Bumdes perbulan berapa, total pertahunnya berapa, dan sudah berapa tahun Bumdes mengelola scrab, kalau dialokasikan ke paket sembako per tahun dan pembangunan balai desa, berapa pengeluarannya, tanya Mr X.

Sementara untuk pembangunan, kata Mr. X, apakah tidak ada alokasi dana dari sumber dana lain.

Misalkan dari DD ataupun ADD. Seandainya murni dana dari Bumdes, berapa nilai bangunan yang dikatakan Hendro sangat megah tersebut,  dan berapa pendapatan Bumdes selama beberapa tahun mengelola scrab dari CJI, kembali tanya Mr. X.

Lantaran ketidaktransparan Bumdes, tegas Mr. X, sehingga memicu pertanyaan dari masyarakat banyak, apakah dana tersebut dijadikan bancakan?

Masalah transparansi tersebut juga pernah disoal sama Hendro, kok sekarang berbalik arah, perlu dipertanyakan ada apa dengan Hendro, apa karena saat ini sudah dijadikan pengawas di Bumdes? Kalau mengacu pada pembagian, ya memang selayaknya Hendro saat ini berbelok arah. Setau saya pengurus mendapat 20 persen, pengawas 5 persen, dan komisaris/penasihat (kades) 5 persen. Prosentase tersebut dibagi dari sekian miliar, bukan puluhan juta loh, beber Mr. X.

Di tempat terpisah, salah satu warga menceritakan lebih detail lagi, saat ini masyarakat seperti dibodohi. Sementara Bumdes Jatigedong juga diduga hanya dijadikan ladang penyelewengan dana oleh segelintir orang.

Yang saya tau 3 orang pengurus Bumdes, 3 orang BPD selaku pengawas, dan kepala desa selaku penasihat/komisaris, urai narasumber yang tak ingin namanya dimuat dalam pemberitaan (sebut saja Mr. Z)

Lebih lanjut Mr. Z menambahkan, di dalam laporan pengurus terdapat lima orang dengan pembagian 20 persen. Dari lima orang itu, kata Mr.Z, yang mengatur hanya Direktur Bumdes dan Bendahara, sedangkan sekretarisnya hanya sebatas administrasi.

Yang menjadi pertanyaan, lantas siapa dua orang lainnya? Dugaan kita yang dua orang tersebut fiktif. Artinya masuk data pelaporan untuk pembagian 5 orang tapi faktanya yang ada cuma 3 orang, tambah Mr. Z.

Pertanyaan berikutnya yakni terkait pembagian 5 persen terhadap 3 anggota BPD sebagai pengawas Bumdes. Padahal anggota BPD ada 9 orang. 

Secara aturan sangatlah tidak quorum. Harusnya ada 9, tapi yang terjadi di Jatigedong cuma ada 3 orang. Dari dulu hingga pergantian ketua BPD saat ini cuma 3 orang. Apa memang disengaja biar pembagian persentasenya semakin sedikit orangnya, berarti semakin banyak persentase yang didapat, tanya Mr. Z. 

Lebih lanjut Mr. Z menanyakan ketidaktransparanan pengurus Bumdes dalam hal keuangan.

Saya sendiri kurang faham mas, uang segitu banyaknya kok hanya diperuntukkan buat mereka. Walau kita juga mengakui kalau paket sembako dan pembangunan desa sudah dijalankan. Tapi nilai pertahunnya berapa, kami tidak tahu, urainya.

Bahkan saya dengar ada juga dugaan permainan dengan vendor mengenai harga, misalkan dari CJI seharga Rp 3000, lalu dijual ke vendor Rp 5000. Tapi yang dimasukkan ke Pembukuan Bumdes cuma Rp 4000. Harga seperti contoh di atas sudah ada kesepakatan antara pengelola bumdes dengan vendor dan selisih harga tersebut diduga masuk ke kantong pribadi. Kalau vendor nggak mau ikut aturan tersebut, ya pasti diganti dengan vendor lainnya, pungkas Mr. Z.


(*Gdg/Mac)

Post a Comment

0 Comments